Tampilkan postingan dengan label Fiksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiksi. Tampilkan semua postingan

Gadis itu #1

Dia menangis, jatuh, bangun, jatuh lagi, dan bangun lagi.
dia menyalahkan hatinya; begitu lemah, payah, ringkih dan terlihat mengerikan.
bagi gadis itu, yang baru saja belajar caranya mengepakkan sayap, tidakkah mematahkan sayapnya yang masih begitu muda terlalu kejam ?
bagi gadis itu, mengurung dirinya di sudut sangkarnya yang gelap terdengar lebih baik. Ia takut seseorang akan mematahkannya lagi, melukainya lagi. Karena tak bisa membenci orang yang melukainya, ia membenci dirinya sendiri. Ia menghukum dirinya sendiri.

Dia bilang dia baik-baik saja. Bohong.
Dia tersenyum.Palsu.
Dia tertawa. Dusta.
Dia ikhlas. Omong kosong.
Dia terus berbohong, pada orang lain, dan pada dirinya sendiri.

Gadis bodoh itu, terlalu takut untuk terjatuh lagi.
Karena itu, dia mengunci hatinya dan membuang kuncinya ke udara.

from google

Mozaik Satu


      “Hei tante..” sapa pria itu sambil duduk di sebuah bangku , perempuan yang duduk di sebelahnya seketika mendelik tajam. Sapaan yang benar-benar merusak pagi.
         “Ck! Berehentilah mendelik kalau tidak mau keriput di matamu itu semakin bertambah!”
Si perempuan menghela nafas; mengutuk keberuntungannya yang buruk. Mengapa di antara ratusan mahasiswa baru ia harus kebagian mementori pria ini?!
       “Cari mentor yang lain saja..” perempuan itu mengemasi bukunya ke dalam tas “…aku tidak tertarik mementori bocah seperti kamu!” si perempuan pun beranjak dari duduknya
        “Well…urusan itu bicarakan saja dengan Bu Kim, kalau tidak mau nilai mentoring mu E” Ucap peria itu membuat si perempuan urung melangkah. “Aku sih sangat tidak keberatan ganti mentor” sambung pria itu sambil beranjak pergi, meninggalkan si perempuan yang masih beku di tempat.

Dua minggu sebelumnya…

        “Kenapa kamu nggak pake seragam ospek ?” Tanya perempuan pada pria tinggi di depannya. Ia berdehem, sebenarnya agak malu berdiri di depan orang yang jauh lebih tinggi darinya. Perempuan itu berbalik, dan berjalan menjauh.
         “Kamu sudah tau peraturannya kan ?” sambungnya, setelah memastikan ia cukup jauh dari junior tinggi itu.
         “Robek..” ucap pria itu pelan.
         “Hah ?” si perempuan kembali berbalik 
         “Kamu bilang seragammu robek bahkan sebelum kamu pakai ?!” si perempuan berkaca pinggang sambil berusaha memasang muka galak.
Si pria menggulum senyumnya “Bukan seragam saya..”
         “Maksudmu ?” si prempuan kembali mendekat, geram karena junior-nya itu tampak sedang mentertawainya.
         “Rokmu. Rok bagian belakang mu robek” ucap pria itu pelan sekali sehingga hanya perempuan itu yang bisa mendengarnya.
         “Hah ?!” 
         si perempuan dengan segera meraba bagian belakang roknya. Dan benar saja, ada robekan yang lumayan panjang di sana. Cukup panjang untuk orang bisa melihat short pants merahnya. Ia lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling, orang-orang berada di radius yang cukup jauh untuk melihat rok robeknya. Ia hampir menghela nafas lega sebelum ia sadar sesuatu

            Tapi bocah ini….!!! Perempuan itu menggeram, lalu mendongak sinis kea rah pria itu. Ingin marah tapi ia terlanjur malu, sehingga hanya diam dengan wajah mulai pucat.
            Si pria pun memegang bahunya, lalu memutar tubuh kecilnya sehingga membelakangi pria itu.
           “Diam sebentar” ucapnya. 
Perempuan itu bahkan tidak dapat menolak, ia hanya diam sambil memegangi bagian roknya yang robek. Dalam hati ia mengutuk hari ini; mengutuk rok sialannya yang benar-benar tidak tahu sikon.
Tiba-tiba saja, sebuah tangan melingkari pinggangnya; mengikatkan sweater abu yang terakhir kali dilihatnya masih dipakai pria itu.
           “Sementara pakai itu dulu, memalukan..” ucap pria itu sambil menepuk-nepuk bahu senior malangnya itu. Si perempuan berusaha mengatur nafasnya dan berbalik menatap pria yang sudah berjalan menjauh itu
           “Yaaa!!” Panggilnya
Pria itu berhenti lalu menoleh, “Tidak perlu berterima kasih. Anggap saja tidak menghukumku jadi imbalannya....” Ia tak lupa melempar senyum mengejeknya sebelum akhirnya kembali berjalan. 

random from google


[Cerpen] Mimpi Di Seberang Sekotong

Picture random from google
Pantai Sekotong adalah salah satu pantai yang terletak di pulau Lombok. Pantai ini terletak di Kabupaten Lombok Barat, tepatnya di Kecamatan Sekotong.  Jika diukur dari Kota Mataram, Pantai Sekotong ini berjarak sekitar 60 kilometer.
            Pantai Sekotong adalah pantai dengan keindahan bawah laut yang menakjubkan dengan karang dan penghuni bawah lautnya yang masih sangat alami, Pantai ini dikelilingi oleh kawasan perbukitan yang melingkar tak jauh dari pinggir pantai. Pantai Sekotong ini masih asli, bebas polusi dan belum banyak dijamah manusia.
Di pantai ini kita akan disuguhi pemandangan Gunung Agung Bali yang tampak dari seberang lautan, Selain itu sejumlah pulau (gili) yang berada cukup dekat dengan Pantai Sekotong akan tampak pula. Setidaknya, ada belasan pulau di perairan Gugusan Gili Sekotong.
 Dengan semua keindahan yang dimilik pantai Sekotong ini, tidak heran bila sebagian orang yang pernah berkunjung ke pantai ini menyebutnya sebagai kepulauan karibian kecil di Lombok.
Di sinilah sebuah mimpi tertanam dan tumbuh menjulang bersama dengan ratusan pohon kelapa yang seolah mencakar langit. Kokoh bak batu karang yang tak akan gugur dihempas ombak. Mimpi tentang bagaimana meraih masa depan…
…………………………………………….
Mimpi adalah kunci
Untuk kita menaklukan dunia
Berlarilah tanpa lelah
Sampai engkau meraihnya……
( Nidji – Laskar Pelangi )

            Aku berlari kecil melewati jalan setapak yang masih basah bekas hujan semalam. Sesekali tanganku sibuk menyingkirkan semak belukar yang pagi ini banyak berserakan di sepanjang jalan menuruni perbukitan. Tak jarang aku terpeleset karna tanah licin dan juga jalannya yang agak curam,
Peluh yang mengalir tak menyurutkan sedikitpun semangat ku untuk pergi ke sekolah. Hari ini adalah hari yang penting bagiku, Sudah menjadi ruinitasku bangun pagi-pagi buta, sebelum matahari sempat menyembulkan sinarnya, dan berlari menuruni perbukitan sementara teman-teman sebayaku masih lelap dibalik selimut.
Rumahku terletak di atas bukit, masih satu kecamatan dengan Sekotong namun jauh lebih ke dalam lagi. Tepatnya Sekitar 2 kilometer dari kecamatan Sekotong. Desaku masih sangat terisolir dari teknologi dan perkembangan zaman, bahkan listrik pun belum sampai ke sini.  
Selain belum bisa dijamah oleh penerangan, desaku juga belum bisa dijamah  oleh pendidikan. Satu-satunya sekolah yang ada adalah Yayasan Baitul Hakim yang terletak di kecamatan Sekotong. Jadi, untuk bisa sampai di tempat itu tepat waktu, aku harus bangun sebelum ayam tetangga sempat memamerkan suaranya. Jaraknya yang jauh inilah yang membuat anak-anak yang satu kampung denganku enggan untuk bersekolah. Mereka lebih memilih untuk berkerja membantu orang tua mereka, yang mayoritas profesinya adalah  nelayan dan petani.
Matahari baru menyembul ketika aku menghentikan langkahku tepat di sebuah bangunan tua berbentuk persegi dengan dinding kayu yang terlihat rapuh, seolah-olah bangunan itu akan runtuh hanya dengan sentuhan angin laut. Jika di depan tidak ada plang yang bertuliskan ‘Yayasan  Baitul Hikmah’, mungkin tak ada yang akan mengira bangunan yang lebih mirip lumbung padi ini adalah sebuah sekolah.
Senyumku mengembang begitu melihat Bu Irma muncul dari balik pintu kelasku, wajah ayunya terlihat gelisah sembari matanya seperti mencari-cari sesuatu dan mengelus dada begitu melihat aku yang masih berdiri di depan gerbang. Beliau melambaikan tangannya, menyuruhku untuk bergegas.
“Asslamualaikum bu” Aku mencium tangannya khidmat, seketika aroma harum tubuhnya menusuk hidungku. Aku selalu suka mencium aroma tubuh Bu Irma, aroma yang selalu membuat aku tenang dan nyaman.
“Waalaikumsalam, ayo cepat nak. Ujian sudah akan dimulai” Dituntunnya aku menuju ke dalam kelas. Tiba-tiba saja aku didera rasa takut, entah takut pada apa. Padahal ini hari terakhir ujian, harusnya aku senang. Tapi sudahlah, apa yang harus aku takutkan. Semalaman suntuk aku sudah belajar. Aku sudah siap. Bismillah..
*****
Jangan bersedih dan putus asa…
Slalu ada jalan bila kau trus berdo’a..
Tabur harapmu sebanyak bintang..
Sebanyak bintang-bintang di angkasa..
( Idola Cilik 1 - Tunjuk Satu Bintang )

“Kalian akan melanjutkan ke mana ? kalau aku mungkin mau bantu Papuq ( panggilan nenek dalam bahsa sasak ) di sawah saja” Ucap Siti lemas. Aku tau, dia mengucapkan kalimat barusan dengan sangat berat hati. Mimpinya menjadi seorang Dokter kandas sudah, berakhir bersamaan dengan berakhirnya Ujian Nasional hari ini.
Kami sedang duduk-duduk di tepi pantai Sekotong sambil menunggu adzan dzuhur, kebiasaan kami sebelum pulang ke rumah masing-masing. Nggak terasa sudah Sembilan tahun berlalu, sejak aku ditarik paksa oleh Amaq ( panggilan ayah dalam bahasa sasak ) dan digendong berkilo-kilo jauhnya ke Yayasan ini. Kata Amaq aku harus sekolah, supaya nggak jadi petani seperti beliau dan sanak keluarga yang lainnya. Sejak saat itu, setiap pagi Amaq selalu menggendongku menuruni bukit untuk sekolah dan siangnya naik bukit lagi untuk pulang. Terus seperti itu sampai aku kelas 3 SD, setelah itu tidak lagi. Bukan karena Amaq tidak mau menggantarku lagi, tapi karena Amaq sudah tidak bisa lagi. Beliau meninggal saat akan menjemputku, ia terjatuh ke jurang. Saat itu musim hujan, pasti lereng sangat licin sekali.
“Yah…kurasa aku juga” Bergantian yang lainnya menjawab dengan jawaban dan ekspresi yang sama. Sedih.
“Kamu sendiri lanjut nggak Mut ?” Atun menyikut tanganku yang dari tadi hanya diam. Hhh…aku sendiri sangsi bisa melanjutkan sekolah, Tapi aku juga nggak rela bilang ‘Aku juga kayaknya mau bantu Inaq ( panggilan untuk Ibu dalam bahasa sasak ) ngurus kebun aja’ aku nggak rela ngelepas mimpiku jadi penulis. Seandainya saja Yayasan ini punya SMA, kami pasti bisa sekolah gratis lagi. Seandainya juga kami-kami ini orang berada, kami pasti akan melanjutkan sekolah ke Mataram tanpa harus pusing mikirin biaya. Seandainya…ah terlalu banyak seandainya jika harus kusebutkan satu persatu.
“Entahlah..” akhirnya cuman itu yang bisa aku jawab.
*****
Aku baru sampai di perbatasan desa ketika kulihat Bi Aminah tetanggaku sedang berlari menghampiriku sambil berteriak-teriak. Tidak, dia tidak berteriak tapi dia menangis. Apa yang terjadi padanya..?
“Muttiiii…..Inaqmu…meninggal…Dia-,” Aku tidak dapat mendengar kalimat selanjutnya karena tiba-tiba saja tubuhku sudah melesat dibawa angin. Aku berlari, tapi aku tidak merasakan kakiku berpijak di tanah. Aku merasa melayang, aku rasa hanya jasadku saja yang bergerak sedangkan rohku terbang entah kemana. Mataku perih oleh angin dan air mata. Lelucon apa lagi ini ? Kenapa takdir begitu tega padaku ? Masih belum cukupkah semua yang sudah kualami selama ini ? Hingga satu-satunya hartakupun sekarang diambilnya ?. Kakiku membawaku ke sebuah rumah kayu yang tampak ramai sekali. Awalnya orang-orang itu bergerak sangat cepat, cepat, lalu melambat, lambat, lambat dan gelap.
*****
Matahari sudah hilang ditelan malam, meninggalkan bulan yang bersinar sendu. Aku duduk termenung di teras rumah, mencerna apa yang baru saja berlalu. Tapi aku sama sekali tak dapat memikirkannya, otakku kosong. Tenagaku menguap tak tersisa, bahkan hanya sekedar untuk berpikir.
Inaq sudah dimakamkan ba’da Ashar tadi. Sekarang apa yang tersisa ? Amaq sudah pergi, Inaq baru saja pergi, bahkan mimpi besarkupun seolah ikut pergi bersama Inaq. Hanya tinggal aku sebatang kara di dalam gubuk reot di pedalaman Sekotong.
“Assalamualaikum…” Suara halus Pak Agus, dokter muda yang mengabdi di desaku menarik lamunanku, entahlah bahkan aku tidak yakin dari tadi aku sedang melamun. Aku yakin beliau maklum atas ketidak mampuanku menjawab salamnya, hingga dia langsung mengambil tempat di sebelahku.
“Seminggu yang lalu, almarhumah datang ke rumah. Beliau menitipkan sejumlah uang untukmu, katanya hasil menjual kebun. Dan..beliau juga minta supaya bapak mengurus sekolah dan tempat tinggalmu di Mataram”
Deg ! Apa lagi ini ? Sejak kapan Inaq menjual kebun ?
“Beliau sangat ingin melihatmu sekolah Mut, hanya itu amanh almarhumah sebelum dia meninggal” Aku masih mematung sambil mendengarkan semua rentetan kalimat dari mulut Pak Agus yang aku yakin hanya numpang lewat ditelingaku. Sampai akhirnya..
“Ya Sudah…kalau kamu sudah baikan, temui saja bapak untuk membicarakan kelanjutannya” Lalu beliau beranjak dan berlalu meninggalkanku yang entah sebenarnya masih hidup atau tidak.
*****
            Aku sudah benar-benar memikirkannya. Apa yang bisa aku beri kepada Inaq selain mewujudkan mimpinya untuk melihatku sekolah ? meski pada kenyataannya beliau sudah tidak bisa lagi melihatku. Aku tidak tau aku akan kuat atau tidak menjalani semuanya sendirian, namun jika aku tetap mengingat semua perjuangan Amaq dan Inaq, aku yakin aku akan kuat. Pagi hari setelah kedatangan Pak Agus malam itu, aku langsung menemuinya. Pak Agus sudah berjanji akan mengurus semua data-dataku yang belum selesai di Yayasan Baitul Hikmah. Maka, minggu itu menjadi minggu terakhir aku berada di Sekotong.
…………………………………………………
Apapun yang ada di dirimu..
Syukuri pemberian darinya..
Dia pasti tau  yang terbaik..
Untukku…Untukmu…
( Debo IC – Yang Terbaik )

            Pantai Sekotong masih tetap sama, tetap menakjubkan dengan segala keindahannya. Tapi di sana-sini sudah banyak tumbuh gedung-gedung perhotelan, resort, restaurant dan berbagai tempat hiburan. Kini Pantai Sekotong sudah menjadi tempat wisata yang diperhitungkan di pulau Lombok selain Senggigi. Setiap hari selalu ramai dikunjungi oleh para tourist local maupun mancanegara.
            Ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Sekotong kembali setelah hari itu. Dengan berbekal uang yang ditinggalkan Inaq aku tinggal luntang lantung di Mataram. Bersekolah di salah satu SMA Negeri dengan bantuan beasiswa. Aku juga bekerja paruh waktu sebagai penjaga toko sepatu di Cakra Negara. Semuanya lewat begitu saja, aku bahkan tak menyangka aku bisa bertahan sejauh itu. Hingga lulus SMA, aku mendapat beasiswa kuliah di Swiss German University ( SGU ) di fakultas Life Science ( LS ) jurusan Pharmaceutical Engineering. Yah memang melenceng dari cita-citaku menjadi seorang Penulis. Namun begitu, aku tetap suka menulis. Dan satu bulan yang lalu, aku baru saja me-release Novel pertamaku dengan judul ‘Mimpi Di Seberang Sekotong’
            Aku malu pada Takdir, jika aku mengingat bagaimana dulu aku memakinya karena membuat hidupku menderita. Padahal semuanya ia lakukan hanya untuk menempaku menjadi kuat, membentukku menjadi tegar. Tapi, kini tak perduli bagaimana dulu bencinya aku padanya. Ia membentuk mimpiku, bahkan lebih indah dari yang aku impikan.
“Ini dia tamunya Bu…” Suara itu menarik kepingan kenangan yang kembali berputar di otakku. Suara itu milik wanita muda berkaca mata yang kini sudah berdiri di depanku. Di belakangnya seorang wanita yang sudah tua berjalan mendekat. Seketika aroma melati menusuk hidungku…aroma yang selalu membuat aku tenang dan nyaman.
“Bu Irma…”

12 Juni 2011
Azizah Ananda


Ini pantai sekotong

Cinta Sesaat


Picture takken from here

Cinta begitu sulit untuk diartikan, terkadang kita tidak bisa mengartikan getaran yang kita rasakan adalah cinta atau hanya rasa sayang yang berlebihan karena adanya kedekatan. sebenarnya tak ada yang salah dengan perasaan yang mulai aku rasakan pada salah satu teman sekelasku, aku hanya merasa nyaman berada dekatnya, aman disampingnya, senang bila ada yang menyebut namanya dan masih banyak lagi perasaan-perasaan yang nggak bisa aku jelaskan. tapi yang jadi masalah adalah apakah semua perasaan yang aku rasakan itu cinta ? ahh.. aku lelah memikirkan itu. kubiarkan perasaan itu bersemayam  berharap perasaan itu hanya perasaan yang aku anggap lebih karena akhir-akhir ini aku memang dekat dengannya.

“heii...duduk sesuai kelompok !!” seru joni si ketua kelas yang baru masuk kelas sambil membawa setumpuk photocopian. bel masuk baru saja berbunyi, dan aku menegang saat itu juga. ahh.. aku benci keadaan ini, jantungku mulai berdebar tak karuan. dan sedetik kemudian debaran itu semakin kencang begitu seseorang yang aku maksud di awal muncul dari balik pintu. Reza berjalan pelan dengan senyum yang... ‘ya tuhannn.. manis banget !! aku tersentak mendengar  jeritan hatiku barusan, tak bisa kuhindari bayangan Rama pun berkelebat di otakku. tidak-tidak tanpa sadar aku menggeleng cepat
“kenapa ?” aku tersadar dari pikiranku, suara halus itu. yaa.. cowok itu sudah berdiri di sisi mejaku, menatapku dengan heran “aku nggak boleh duduk di sini ?”
“hah ?” aku melongok “enggak-enggak, duduk aja kali” aku pura-pura sibuk mengeluarkan buku-bukuku, tak berani menatapnya yang mungkin juga sedang menatapku. fiuhhh... aku terlalu GR, ternyata dia sedang sibuk dengan dunianya, memutar-mutar benda kubus warna-warni yang entah siapa memberinya nama rubik.

****
            Tugas kelompok yang tak habis-habisnya juga memaksaku harus banyak menghabiskan waktu dengan Reza, ehh... meski nggak berdua sih, masih ada yang lainnya juga. akupun tak menyadari kalau aku hampir saja melupakan seseorang yang tak semestinya aku lupakan. Rama, siang ini ia bela-belain izin pulang cepet dan menungguku di gerbang sekolah. ia memohon kepadaku untuk tidak ikut kerja kelompok siang ini saja. bahkan ia bersikeras untuk memintakkan aku izin kepada Riyan ketua kelompokku.
“ayolah Sil..siang ini aja, janji !!” Rama menatapku dengan tatapan memelas. ya tuhann.. jahatnya aku, sampai-sampai pacarku sendiripun harus memohon untuk waktuku. sesibuk itukah aku sampai-sampai aku melupakan cowok ini ?. mata elang itu masih menatapku, aku makin nelangsa saja dibuatnya.
“oke..” aku mengangguk “ntar aku minta izin sama Riyan”  senyum Rama pun langsung sumbringah.

 *****
            Reza meraih tanganku, sudah dari beberapa detik yang lalu ia berjongkok di depanku. dan seperti biasa jantungku bergemuruh ria. aku hanya berharap Reza sama sekali tak mendengarnya
“mau nggak jadi cewek gw ?” ucapnya lirih
DEG...!! aku kaget luar biasa, mataku terbelalak sementara mulutku ternganga. benarkah yang kudengar barusan ? Reza menyatakan cinta padaku ? jadi... selama ini Reza juga merasakan hal yang sama seperti aku ? aku sama sekali tak mempercayai ini. lagi-lagi bayangan Rama berkelebat di otakkku. Aku pasti akan mengatakan ‘Kamu serius ?’ kalau saja sebuah suara melengking hebat memanggil namaku
“SILVIAAA.....!!!” aku terperanjat mendengar seruan keras tersebut. hah ? Riyan ? kok riyan dan yang lainnya ada di sini ? gawat.. apa mereka liat kejadian barusan ? mampus deh gw
“Di dalam naskah, nggak ada adegan melongok-melongok begok kayak gitu dehh...” omel Riyan kesal, sambil mengacung-acungkan gulungan naskah
fiiuhhh....tanpa sadar aku menghela nafas berat dan panjang, ternyata hanya bhongan, hanya acting !! ada sepercik kekecewaan yang masuk ke relung hatiku. bodohnya aku.. sampai-sampai aku tak sadar kalau detik ini aku sedang latihan dRama “sory...sory...aku lupa dialognyakilahku sambil menyeringai lebar menyambut tatapan gemas Riyan, Dina, Sofi, Wulan terutama Reza. sumpah deh.. aku nggak bisa ngebayangin gimana konyolnya ekspresiku beberapa detik yg lalu.. fiuhh lagi-lagi aku menghela nafas.


****
            “jadi udah selesai nih ?” tanya Rama lirih, tapi tetap dengan senyuman. pekerjaan kelompokku sudah selesai 2 minggu yang lalu, tapi aku baru punya waktu buat Rama siang ini.
“iya, maaf ya aku baru punya waktu sekarang” aku menatap Rama lekat-lekat. Oh.. tuhan, betapa baik dan pengertiannya cowok ini, ia begitu mengerti keadaanku.
“nggak apa-apa kok, dulu.. aku waktu baru-baru SMA juga kayak gitu” Rama tersenyum lebar “oh iya, nihh.. hampir aja lupa” ujarnya lagi, sambil menyodorkan kantong plastik putih “aku beliin 2 lusin sekalian, pasti kamu belum pernah sempet beli”
tuhh... betul kan ? Rama emang pacar yang baik, perhatian lagi !! buktinya cowok ini tau, kalo aku lagi pengen banget makan kue yang di tengahnya bolong ini.
“Asyiiikkk...!!” seruku senang, aku lalu meraih satu buah Donat yg berlapis chochocrunch renyah. dan dalam hitungan detik Donat itu lenyap. hmmm... yummyy...
“enak ya Sil ?” tanya Rama yang memperhatikanku yang makan dengan lahap, aku mengangguk cepat. di depan Rama, aku memang nggak pernah jaim. tapi anehnya, Rama nggak pernah ilfeel sama aku. makanya itu, Rama perfect banget deh jadi cowok. tapi ya itu masalahnya.. aku susah banget menyangkal, kalo setengah hatiku sudah dicuri cowok lain,,, aku harus gimana ??  aku benar-benar dilema.

 ****
            Dony menatapku dengan kening berkerut, entah apa yang ada di pikirannya sampai-sampai mimik mukanya seserius itu. yang jelas itu tentang aku dan masalahku. sore ini aku sengaja datang ke rumah Dony sahabatku yang selama ini selalu setia mendengarkan semua curhatanku. tak jauh berbeda, aku juga menatapnya bingung, menunggu nasihat yang akan keluar dari mulutnya.
“kamu harus bisa ngelenyapin perasaan itu Sil..” akhirnya kata-kata itu yang keluar. aku langsung melongos “aku tau Don, aku juga pengen. tapi gimana caranya ?”
Dony menarik nafas “sebisa mungkin kamu jauhin Reza, gimana mungkin kamu bisa ngelupain Reza kalau setiap hari kamu sebangku sama dia” aku tertegun mendengar ucapan Dony, yaa.. semenjak satu kelompok, mendadak Reza memang jadi teman sebangkuku. “tapii...” ucapku menggantung
“mulai besok, kamu duduk bareng aku aja. biar Reza nggak ada alasan buat duduk sama kamu” lagi-lagi aku tertegun, Dony seolah bisa membaca pikiranku, kata-katanya barusan menjawab pertanyaan yg belum sempat aku lontarkan. “mau nggak ?” Dony menunggu jawabanku. yahh.. mungkin memang ini yang terbaik, aku mengangguk samar “iya, makasi ya Don..”
“sama-sama” Dony menepuk pundakku pelan “yuuk ah..aku antar pulang, udah mau malem nih” aku beranjak dari dudukku dan mengekor di belakangnya.

****
            3 minggu sudah berlalu sejak aku memutuskan untuk menjauhi Reza. sebisa mungkin selama di sekolah Dony selalu jadi pengawalku, meski berlebihan memang begitulah kenyataannya. Reza sendiri tak merasa aneh dengan sikapku yang akhir-akhir ini menjauhinya, dan ia juga tanpak biasa-biasa saja. kini selama aku duduk dengan Dony, ia lebih sering duduk dengan Sofi atau enggak Wulan. meski samar aku bisa memlihat perlakuan Reza terhadap Sofi, wulan dan cewek-cewek lain di kelasku tak ada bedanya dengan perlakuan Reza padaku. jadi selama ini aku saja yang terlalu berlebihan menganggap Reza memperlakukanku secara spesial, Reza memang baik dan dia baik pada semua orang tak terkecuali padaku. dan itulah bodohnya aku, mengapa aku baru menyadarinya sekarang ?
“heyy....heyy...” Reza melambai-lambaikan tangannya di depan mukaku, aku tentu saja kaget. ternyata tanpa sadar dari tadi aku sedang memperhatikan Reza. hari ini Dony tidak masuk, katanya sih sakit, jadi aku nggak punya alasan deh untuk nolak waktu Reza ingin duduk di bangku sebelahku.
“aku taulah aku cakep, tapi nggak usah ngeliatin aku kayak gitu deh” canda Reza narsis
“hah ? ngeliatin kamu ? hueekk” aku pura-pur muntah “nggak banget deh” elakku. Padahal aku memang memperhatikannya hue hue..
Reza tertawa renyah melihat tingkahku, huh.. 3 minggu ya aku nggak pernah bercanda kayak gini sama ni cowok ? aku menarik nafas pelan, sambil kembali sibuk mengerjakan soal-soal yang ada di buku paket. tapi baru saja aku menjawab satu soal, aku menyadari suatu hal... ternyata dari tadi aku duduk dengan Reza, aku sama sekali tak merasakan perasaan itu lagi. jantungku tidak berdebar-debar lagi kayak seperti kemaren-kemaren, yahhh apa perasaan itu hilang ?? apapun itu saat ini aku sangat senang. dan kalian tau, siapa yang ada di pikiranku saat ini ?? yup Rama..

 ****
            “cepetan Dong Ramm..” aku berseru sambil berlari-lari kecil menghampiri deburan ombak yang tanpak tenang. Rama menyusulku setelah memarkir motornya di bawah salah satu pohon rindang di pinggir pantai.
2 bulan waktu yang cukup lama untuk meyakinkanku bahwa perasaanku pada Reza benar-benar sudah hilang, bahkan mungkin sebenarnya perasaan itu memang tak ada, tapi hanya aku saja yang menganggapnya ada.
“kamu kok tumben sih ngajak aku ke pantai ?” tanya Rama begitu duduk di sampingku. aku memejamkan mataku sejenak, kubiarkan angin pantai menerpa wajahku, kupenuhi paru-paruku dengan udara lalu menghembuskannya bersamaan dengan terbukanya mataku.
“kamu ingat hari ini hari apa ?” tanyaku tanpa mengalihkan pandanganku dari hamparan laut tiada batas di depanku.
“emang hari apa ?” Rama mengikuti arah pandangku “hari minggu kan ? masak lupa”aku tertawa lirih, aku tau Rama hanya bercanda dengan pura-pura lupa “hari ini kan tepat satu tahun kita jadian”
“oh ya ?” Rama pura-pura kaget lalu mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu tersenyum penuh arti “tentu saja aku ingat” Rama lalu mengeluarkan sesuatu dari saku celananya “dan ini hadiah buat kamu” wow seuntai kalung.. tentu saja Rama ingat. bahkan ia sempat memberikan aku hadiah. sedangkan aku ? kalau saja tadi pagi Dony tak mengucapkan ‘Happy 1st Anniversary’ aku pasti sudah lupa. thanksss Donn... ucapku dalam hati.
“udahh... gimana ? suka nggak ?” tanya Rama begitu selesai menyematkan kalung itu di leherku
“mm... suka banget, thankss ya” lalu aku menggaruk kepalaku yang sebenarnya tak gatal “umm.. tapi, maaf ya Ramm.. aku nggak sempet beliin kamu sesuatu” ucapku penuh penyesalan
“hahhaha.. nggak apa-apa lagi Sill, aku kan nggak lagi ultah” ucapnya sambil tertawa
“tapi kann...”
“udahlahh... photoan yuukkk !!” ajaknya seraya berdiri, diulurkannya tangannya untuk membantuku berdiri, “minta bantuan siapa yaaa ?” aku celingak-celinguk mencari seseorang yang mungkin mau jadi sukarelawan
“paaakkk....!!” aku melambaikan tanganku pada seorang bapak yang sedang berlari-lari sore
“iya ?” bapak itu menghampiri
“bisa minta tolong photoin kami berdua nggak pak ?” pinta Rama sopan. dan bapak itupun dengan senang hati menerima uluran kamera dari Rama. setelah aku dan Rama memasang pose sekeren mungkin, bapak itu mulai menghitung bak photografer profesional “yakk... satu...duaaa....”
KLIK... dan moment itupun terabadikan untuk selamanya...

Cerpen R.E.G.R.E.T

picture random from google


  Pernahkah kalian merasakan sebuah penyesalan ?
 Menyesal atas suatu kesalahan yang tak bisa kita    perbaiki
  Atau…
  Menyesal atas kesalahan yang bisa kita perbaiki
  Namun sudah terlambat untuk dilakukan…

Kulirik jam tanganku gusar, sudah setengah jam lebih aku menunggu tapi orang yang kutunggu belum juga tampak batang hidungnya. Untuk kesekian kalinya aku menghela nafas panjang. Ada rasa ragu yang menyeruak saat aku menyanggupi ajakan Lina dan Aldi tadi pagi, tapi secuil kerinduan yang menyesakkan mengalahkan rasa takut dan ragu yang menahan langkahku.

Kutatap awan pekat yang berarak semakin mendekatiku dengan tatapan nelangsa, rintik-rintik air langitpun sudah mulai berjatuhan menerpa bumi. Kutautkan kedua tanganku untuk sedikit menghilangkan hawa dingin yang mulai menusuk. Aku kalut

“Alika....ayo naik” Sebuah suara yang sudah sangat kukenal membuyarkan hening yang kuciptakan sendiri. Melihatku yang hanya duduk diam, ia beranjak keluar dari mobilnya dan segera menghampiriku. Gilang ! Dia adalah pacarku sejak 3 minggu yang lalu, yah setidaknya begitulah teman-temanku menyebut statusku dengannya. Hhh ‘Pacarku’ bahkan kata itu sangat ganjal untuk kusebut…
“Ayo Alika, biar kuantar kau pulang. Sebentar lagi hujannya tambah besar” Serunya sambil mengambil alih tasku.
“Nggak usah Lang, bentar lagi jemputanku dateng kok. Kamu duluan aja gih” Tolakku halus sambil menarik kembali tasku dan meletakkannya di pangkuan. Kulihat sekilas beberapa anak yang juga sedang menunggu jemputan berbisik-bisik sambil melirik-lirik ke arah kami. Huh ! aku mendengus kesal, pelan dan sepelan mungkin agar tak terdengar oleh Gilang..
“Ayolah Alika, masak udah 3 minggu pacaran aku sama sekali belum pernah nganterin kamu pulang ?”
“Emang harus ya ?” Aku melihatnya sambil menyunggingkan senyum
“Ya…Enggak sih” Jawabnya sambil menggaruk-garuk kepalanya, lalu seperti biasa ia nyengir kuda. Kalian tau ? Gilang itu baik banget, sangat baik malah. Tapi kenapa aku belum bisa mencintai dia layaknya seorang kekasih ? ku kira seiring berjalannya waktu aku akan mencintainya, tapi…

“Ya udah deh, Aku tungguin aja ya sampei jemputanmu dateng” Putusnya tanpa meminta persetujuanku lalu menghempaskan tubuhnya di sampingku. Ditatapnya aku lekat-lekat dengan dua bola matanya yang besar dan hitam. Tatapan yang teduh, namun selalu membuat aku jengah.
“Kenapa kamu seneng banget sih ngeliatin aku kayak gitu ?!” Hardikku. Membuatnya agak tersentak, lalu dengan cepat ia menarik bibirnya hingga membentuk sebuah cengiran
“Habis kamu cantik sih...” Kini aku yang tersentak mendengar jawaban entengnya itu. Hei...gadis mana yang tidak senang di bilang cantik ? Sialan, kurasakan hawa panas menjalari pipiku. Tak mau kepergok Gilang akhirnya dengan cepat aku membuang muka ke mana saja asal tak ke arahnya
“Trimakasih..” Ucapku lirih, sangat lirih hingga mungkin tak terdengar oleh Gilang. Lelah membuang muka, akhrinya aku putuskan untuk menunduk saja. Tidak kupedulikan Gilang yang entah sedang melakukan apa di sampingku.

“Alika...” Sapaan lembut itu membuatku secepat kilat menoleh. Lina...akhirnya dia datang juga. Kualihkan pandanganku ke sebelahku, Gilang. Dia sudah tak ada di sana. Kuhela nafas berat begitu menyadarinya. “Hei...Alika kau kenapa ?” Lina menatapku khawatir “Kalau kau belum-“
“Enggak Lin, InysaAllah aku siap” Selaku mantab sambil menyeka bulir air mata yang sempat terjatuh dan tersenyum untuk meyakinkannya.

*****
            Gerimis kecil tadi, kini sudah berubah menjadi hujan lebat. Kusapu pandanganku ke luar kaca mobil, mencoba mencari pemandangan yang mungkin sedikit menghibur suasana hatiku yang tak menentu. Tapi tak kutemukan. Derasnya hujan membuat jalanan drastis menjadi lenggang. Sepi...
            “Ayolah Alika...jangan diam terus. Bicaralah sedikit” Aku menoleh ke sumber suara. Gilang. Sementara tangannya sibuk dengan stir, mata elangnya tetap siaga dengan jalanan di depannya sambil sesekali melirik ke arahku.

            “Apa yang harus kubicarakan Lang ?” Tanyaku setengah hati, sambil kembali membuang pandangan ke arah jalanan. Ini pertama kalinya aku mengiyakan ajakan Gilang pulang. Aku rasa sudah saatnya aku mencoba..
            “Apa saja, asal kau bicara. Jangan biarkan aku terlihat seperti orang gila yang berbicara sendiri” Aku hanya tersenyum menanggapinya “Aha...atau kau nyanyi saja ya Alika” Aku tersentak (lagi!) dan mendelik ke arahnya dengan alis bertaut “Coba kau dengar lagu ini, pasti kau hafal” Satu tangannya sudah sibuk memasukkan sebuah kaset ke dalam CD. Dan tak lama berselang sebuah lagu yang sangat sudah kami kenal dan kami hafal mengalun menyejukkan suasana. Air supply – Goodby. Ah..betapa rindunya aku dengan lagu ini ? dulu waktu masih SMP kami sering menyanyikan lagi ini bersama-sama..

            “I can see the pain living in your eyes....” Gilang megikuti lirik pertama dengan suaranya yang agak sumbang. Aku meliriknya sambil tersenyum, lalu mengikutinya menyanyikan lirik selanjutnya

“You deserve to have so much more..
I can feel your heart and i sympathieze
and i’ll never criticize all you’ve ever
meant to my life...”

           “Suaramu bagus Alika...” Refleks aku berhenti bernyanyi. Menoleh ke sumber suara lalu mengeryit begitu menyadari yang duduk di sebelahku adalah Aldi bukan Gilang !. Kembali ada rasa kosong yang menyelinap di hatiku begitu aku menyadari itu. Lagi-lagi aku membuang pandangan ke arah jalan yang sudah mulai ramai karena hujan sudah mereda.
Hening....
“Apa kau punya kenangan dengan lagu itu ?” Lina yang duduk di jok belakang membuka suara, berniat mencairkan suasana. Tapi sedetik kemudian kudengar ia menggumamkan maaf dengan suara lirih, kurasa ia baru menyadari kalau pertanyaannya kuranglah tepat.
“Entahlah...” Jawabku mengambang
kembali hening....
*****

Aldi memarkirkan mobilnya di bawah pohon akasia yang aku taksir umurnya sekitar ratusan tahun. Bunga-bunganya yang indah gugur satu persatu, membuat taman bunga tanpa akar di sekliling batangnya. Aku hanya duduk mematung, tiba-tiba saja ada rasa takut yang menyelinap. Entahlah apa yang membuatku takut, yang pasti aku takut. Aku menatap Aldi dan Lina bergantian, lalu mereka membalasnya dengan beberapa kali anggukan yang seolah mengatakan ‘semuanya akan baik-baik saja’ yah..aku tau semuanya akan baik-baik saja. Kubuka pintu mobil perlahan, lalu mulai melangkah.

“Alika, kamu kenapa sih kok sejak kita jadian kamu jadi  pendiam gini  ?” Tanya Gilang begitu aku keluar dari mobil, membuatku sedikit kaget.
“Hem, masak sih ? biasa aja kok Lang”
“Kamu nggak lagi ada masalah kan ?” Gilang menhentikan langkahnya lalu menatapku curiga.
Aku menggeleng cepat sambil terkekeh garing “Enggak kok, tenang aja” Kutepuk-tepuk pundaknya untuk meyakinkannya bahwa tidak ada apa-apa. Tepatnya supaya dia tidak tau, bahwa sebenarnya ada apa-apa.

 Yah…2 bulan sudah, aku sama sekali belum yakin dengan pilihanku untuk menerima Gilang. Kenapa dulu aku harus menerimanya ? kenapa dulu aku harus takut menolaknya ? kurasa dulu Gilang pasti mengerti kalau aku menolaknya, bahwa aku menyayanginya hanya sebatas sahabat yang sudah menempel denganku sejak TK. Hanya saja aku terlalu takut kehilangan dia hanya karna aku menolaknya…

“Oke, aku percaya. Tapi kalau kamu lagi ada masalah, seperti biasa aku selalu siap kok dengerin curhatanmu” Ditepuknya kepalaku pelan “Aku pulang ya..”

            Kusapu pandanganku ke arah matahari yang sudah muncul dari balik awan. Hujan sudah mereda, menyisakan butiran-burtiran air yang menetes dari daun-daun rimbun pohon-pohon yang berderet sepanjang jalan setapak yang menbarkan bau tanah basah. Akupun melangkah ditemani kepingan-kepingan kejadian yang berputar tepat di bintik mataku..

“Alika…dengerin aku” Gilang memegang pundakku, memutarnya hingga aku benar-benar memandangnya. Kami sedang duduk di tepi pantai, entahlah pantai apa ini. Pulang sekolah tadi tiba-tiba Gilang mengajakku ke sini. 1 menit berlalu, bukannya berbicara dia malah menatapku lekat, matanya tepat memandang ke bintik mataku. Seperti mencari sesuatu di dalamnya. Mata itu tanpak lelah, seperti tidak ada cahaya di dalamnya. Jengah…akupun membuka suara “Ada apa sih Lang ? kamu aneh banget deh”

Diuraikannya tangannya dari pundakku, lalu ia mengalihkan pandangannya ke arah matahari yang semakin sore semaki merendah, dan seolah akan hilang di balik batas samudra yang entah ada di mana itu. Kuikuti arah pandangannya, sambil menunggu apa sebenarnya yang akan dia bicarakan “Aku tau ini berat Alika. Dari sahabat menjadi pacar” Dia terkekeh sebentar “Mungkin tidak biasa bagimu dengan status baru ini, begitu juga denganku. Tapi aku benar-benar minta pengertianmu Alika, karena ini hanya sebentar…”

Aku menoleh, menautkan alis tapi tak berniat menyela. Meski aku sangat ingin menyela ‘Apa maksudmu dengan sementara ?’ Tapi kurasa Gilang juga belum memerlukan selaanku, kutunggu dia melanjutkan penjelasannya...
Sekilas Gilang seperti menimbang-nimbang sebelum akhirnya ia menoleh ke arahku dan tersenyum “Tapi aku sangat senang, karena kau juga mencintaiku lebih dari seorang sahabat” Aku tercekat. Susah payah aku menelan ludah, sambil membalas senyumnya dengan senyumku yang pasti terlihat aneh..
*****

Tempat ini begitu luas dan sepi. Tak ada kehidupan..yang ada hanya gundukan-gunduka tanah merah yang berderet rapi dibawah naungan pohon-pohon akasia yang berdaun lebat. Kakiku terus melangkah sambil membaca nama-nama yang terpatri sebagai pemilik gundukan tersebut. Lalu berhenti begitu mataku menemukan nama itu. Gilang Syaputra, lidahku tiba-tiba kelu saat menyebut 2 potong nama itu.

“Aku minta putus Lang..” Ucapku lirih saat perjalanan pulang dari pantai. Gilang yang berada di depan stir menoleh, walaupun keadaan di dalam mobil remang karena langit sudah mulai gelap aku masih bisa menangkap raut keterkejutan Gilang.
“Maksud kamu apa Alika ?” Suaranya masih tetap tenang “Candaanmu nggak lucu” Gilang memaksakan diri untuk tertawa hingga yang terdengar hanya tawa sumbang.
“Aku mau putus Lang, putus! Aku sudah tidak tahan ngejalanin kebohongan ini. Aku minta maaf karena aku sudah membohongimu selama ini. Aku minta maaf sudah tidak mau jujur sama kamu. Aku minta maaf karena nggak bisa jadi apa yang kamu ingininkan, Aku nggak pernah mencintaimu lebih dari seorang sahabat.. Bagiku kamu seperti saudara, nggak lebih Lang” Nafasku memburu begitu selesai mengucapkan sederatan kalimat tadi dengan satu kali helaan nafas.
“Kamu…Kamu serius Alika ?”Meski masih tampak tenang, tapi suaranya sudah terdengar getir. “Terus..kenapa kamu nerima aku waktu itu ?”
Aku diam…
bukan karena aku tidak mau menjawab, tapi aku tidak bisa menjawab. Tubuhku yang gemetar hebat menahan tangis, dan tenggorokanku yang kering membuatku tak bisa lagi mengeluarkan kata apapun…

“KENAPA ALIKA ?”
Aku masih diam, hingga akhirnya Gilang memukul stir mobilnya hingga suara klakson berteriak nyaring memecah keheningan jalan. Aku semakin ketakutan, kini aku sudah menangis sesenggukan sambil mengucapkan kata “Maaf” berkali-kali.

                 Tapi Gilang seolah tidak perduli. Wajahnya mengeras, sorot matanya tajam namun tak fokus ke jalanan. Diinjjaknya pedal gas keras hingga mobil seperti meluncur cepat.
 “Gilang…kamu apa-apaan ?! GILANG !” Aku mulai panik melihat kekalapan Gilang menyetir, kucoba untuk meraih tangannya “Kita bisa mati GILANG ! BEREHENTI ! GILANG! AKU BILANG BERHENTI !”Aku berteriak-teriak panik untuk mengalahkan deru mobil yang semakin keras. Aku merasakan mobil seakan melayang karean terlalu cepat dipacu.

                  Aku sudah tidak bisa menahan emosiku. Sambil tetap menangis aku terus mencoba meraih tangannya tapi selalu bisa ditepisnya. Aku sudah hampir maraih tangannya ketika kilatan cahaya menyeruak masuk dan menyilaukan segalanya. Kejadian itu terlalu cepat, secepat terpelantingnya mobil kami ke bahu jalanan setelah sebelumnya menghantam teronton besar. Terus berguling, hingga akhirnya mobil berhenti sama sekali.

                 Aku membuka mataku, mencoba mencerna semuanya diantara batas kesadaranku. Tapi terlambat, semuanya sudah terjadi. Aku tidak bisa merasakan apapun, tubuhku mati rasa karena terjepit diantara badan mobil yang hampir remuk. Aku tak mampu bergerak, bahkan bernafas saja rasanya paruku tak kuasa melakukannya. Aku mengerahkan sisa kekuatanku untuk menoleh ke samping kananku. Gilang masih di sana tapi matanya sudah terpejam. Aku mengalihkan pandanganku karena sudah tak kuasa memandang tubuhnya yang sudah....ah ! bahkan aku tak kuasa menyebutnya. Sayup kudengar suara teriakan di luar sana, sebelum akhirnya semuanya menjadi gelap.

Kupandang gundukan yang membisu tersebut lalu bersimpuh dan menundukkan kepala pada jiwa yang sudah tenang di alamnya. Kuletakkan seikat bunga di atas pusarannya dan kugantungkan bebarapa bait do’a untuk menyejukkannya yang terengkuh dalam pelukan-Nya.
“Hai…” bahkan kata ‘Hai’ saja sudah mampu menyesakkanku. Rasa penyesalan memelukku erat, hingga rasanya tak bisa bernafas. Kubasahi tenggorokanku yang tiba-tiba mengering, pahit !
“Gimana kabarmu Lang ?” Kuremas gundukan tanah merah yang err dingin karena hujan yang baru saja berlalu. Kubiarkan air mata yang sudah mati-matian kutahan meluruh bersama semua penyesalan yang kupendam “Aku minta maaf baru bisa dateng sekarang….”
“Seandainya dulu, aku lebih bijaksana memutuskan. Mungkin tidak akan begini jadinya..tapi sudahlah, semuanya sudah terlambat”
Hening…
“Lang…kamu kesepian nggak ? sebenernya aku pengen banget nemenin kamu di sini lebih lama” Kuseka air mataku dengan punggung tangan “Tapi aku harus pergi, meski aku sangat ingin menemanimu di sini..”
Sekali lagi kuusap nisannya sambil kembali melafalkan do’a
“Lang…aku pulang ya. Nanti, aku pasti dateng lagi kok” Kuusap nisannya lembut sebelum kembali menundukkan kepala. Kali ini penghormatan terakhir sebelum akhirnya aku beranjak, meninggalkan tempat peristirahatannya dengan perasaan yang lega.

Mungkin jasadmu tidak lagi di sampingku…
Tapi cintamu akan selalu di hatiku..
Tenanglah di dalam pelukan-Nya…
Gilang.