Cerpen R.E.G.R.E.T

picture random from google


  Pernahkah kalian merasakan sebuah penyesalan ?
 Menyesal atas suatu kesalahan yang tak bisa kita    perbaiki
  Atau…
  Menyesal atas kesalahan yang bisa kita perbaiki
  Namun sudah terlambat untuk dilakukan…

Kulirik jam tanganku gusar, sudah setengah jam lebih aku menunggu tapi orang yang kutunggu belum juga tampak batang hidungnya. Untuk kesekian kalinya aku menghela nafas panjang. Ada rasa ragu yang menyeruak saat aku menyanggupi ajakan Lina dan Aldi tadi pagi, tapi secuil kerinduan yang menyesakkan mengalahkan rasa takut dan ragu yang menahan langkahku.

Kutatap awan pekat yang berarak semakin mendekatiku dengan tatapan nelangsa, rintik-rintik air langitpun sudah mulai berjatuhan menerpa bumi. Kutautkan kedua tanganku untuk sedikit menghilangkan hawa dingin yang mulai menusuk. Aku kalut

“Alika....ayo naik” Sebuah suara yang sudah sangat kukenal membuyarkan hening yang kuciptakan sendiri. Melihatku yang hanya duduk diam, ia beranjak keluar dari mobilnya dan segera menghampiriku. Gilang ! Dia adalah pacarku sejak 3 minggu yang lalu, yah setidaknya begitulah teman-temanku menyebut statusku dengannya. Hhh ‘Pacarku’ bahkan kata itu sangat ganjal untuk kusebut…
“Ayo Alika, biar kuantar kau pulang. Sebentar lagi hujannya tambah besar” Serunya sambil mengambil alih tasku.
“Nggak usah Lang, bentar lagi jemputanku dateng kok. Kamu duluan aja gih” Tolakku halus sambil menarik kembali tasku dan meletakkannya di pangkuan. Kulihat sekilas beberapa anak yang juga sedang menunggu jemputan berbisik-bisik sambil melirik-lirik ke arah kami. Huh ! aku mendengus kesal, pelan dan sepelan mungkin agar tak terdengar oleh Gilang..
“Ayolah Alika, masak udah 3 minggu pacaran aku sama sekali belum pernah nganterin kamu pulang ?”
“Emang harus ya ?” Aku melihatnya sambil menyunggingkan senyum
“Ya…Enggak sih” Jawabnya sambil menggaruk-garuk kepalanya, lalu seperti biasa ia nyengir kuda. Kalian tau ? Gilang itu baik banget, sangat baik malah. Tapi kenapa aku belum bisa mencintai dia layaknya seorang kekasih ? ku kira seiring berjalannya waktu aku akan mencintainya, tapi…

“Ya udah deh, Aku tungguin aja ya sampei jemputanmu dateng” Putusnya tanpa meminta persetujuanku lalu menghempaskan tubuhnya di sampingku. Ditatapnya aku lekat-lekat dengan dua bola matanya yang besar dan hitam. Tatapan yang teduh, namun selalu membuat aku jengah.
“Kenapa kamu seneng banget sih ngeliatin aku kayak gitu ?!” Hardikku. Membuatnya agak tersentak, lalu dengan cepat ia menarik bibirnya hingga membentuk sebuah cengiran
“Habis kamu cantik sih...” Kini aku yang tersentak mendengar jawaban entengnya itu. Hei...gadis mana yang tidak senang di bilang cantik ? Sialan, kurasakan hawa panas menjalari pipiku. Tak mau kepergok Gilang akhirnya dengan cepat aku membuang muka ke mana saja asal tak ke arahnya
“Trimakasih..” Ucapku lirih, sangat lirih hingga mungkin tak terdengar oleh Gilang. Lelah membuang muka, akhrinya aku putuskan untuk menunduk saja. Tidak kupedulikan Gilang yang entah sedang melakukan apa di sampingku.

“Alika...” Sapaan lembut itu membuatku secepat kilat menoleh. Lina...akhirnya dia datang juga. Kualihkan pandanganku ke sebelahku, Gilang. Dia sudah tak ada di sana. Kuhela nafas berat begitu menyadarinya. “Hei...Alika kau kenapa ?” Lina menatapku khawatir “Kalau kau belum-“
“Enggak Lin, InysaAllah aku siap” Selaku mantab sambil menyeka bulir air mata yang sempat terjatuh dan tersenyum untuk meyakinkannya.

*****
            Gerimis kecil tadi, kini sudah berubah menjadi hujan lebat. Kusapu pandanganku ke luar kaca mobil, mencoba mencari pemandangan yang mungkin sedikit menghibur suasana hatiku yang tak menentu. Tapi tak kutemukan. Derasnya hujan membuat jalanan drastis menjadi lenggang. Sepi...
            “Ayolah Alika...jangan diam terus. Bicaralah sedikit” Aku menoleh ke sumber suara. Gilang. Sementara tangannya sibuk dengan stir, mata elangnya tetap siaga dengan jalanan di depannya sambil sesekali melirik ke arahku.

            “Apa yang harus kubicarakan Lang ?” Tanyaku setengah hati, sambil kembali membuang pandangan ke arah jalanan. Ini pertama kalinya aku mengiyakan ajakan Gilang pulang. Aku rasa sudah saatnya aku mencoba..
            “Apa saja, asal kau bicara. Jangan biarkan aku terlihat seperti orang gila yang berbicara sendiri” Aku hanya tersenyum menanggapinya “Aha...atau kau nyanyi saja ya Alika” Aku tersentak (lagi!) dan mendelik ke arahnya dengan alis bertaut “Coba kau dengar lagu ini, pasti kau hafal” Satu tangannya sudah sibuk memasukkan sebuah kaset ke dalam CD. Dan tak lama berselang sebuah lagu yang sangat sudah kami kenal dan kami hafal mengalun menyejukkan suasana. Air supply – Goodby. Ah..betapa rindunya aku dengan lagu ini ? dulu waktu masih SMP kami sering menyanyikan lagi ini bersama-sama..

            “I can see the pain living in your eyes....” Gilang megikuti lirik pertama dengan suaranya yang agak sumbang. Aku meliriknya sambil tersenyum, lalu mengikutinya menyanyikan lirik selanjutnya

“You deserve to have so much more..
I can feel your heart and i sympathieze
and i’ll never criticize all you’ve ever
meant to my life...”

           “Suaramu bagus Alika...” Refleks aku berhenti bernyanyi. Menoleh ke sumber suara lalu mengeryit begitu menyadari yang duduk di sebelahku adalah Aldi bukan Gilang !. Kembali ada rasa kosong yang menyelinap di hatiku begitu aku menyadari itu. Lagi-lagi aku membuang pandangan ke arah jalan yang sudah mulai ramai karena hujan sudah mereda.
Hening....
“Apa kau punya kenangan dengan lagu itu ?” Lina yang duduk di jok belakang membuka suara, berniat mencairkan suasana. Tapi sedetik kemudian kudengar ia menggumamkan maaf dengan suara lirih, kurasa ia baru menyadari kalau pertanyaannya kuranglah tepat.
“Entahlah...” Jawabku mengambang
kembali hening....
*****

Aldi memarkirkan mobilnya di bawah pohon akasia yang aku taksir umurnya sekitar ratusan tahun. Bunga-bunganya yang indah gugur satu persatu, membuat taman bunga tanpa akar di sekliling batangnya. Aku hanya duduk mematung, tiba-tiba saja ada rasa takut yang menyelinap. Entahlah apa yang membuatku takut, yang pasti aku takut. Aku menatap Aldi dan Lina bergantian, lalu mereka membalasnya dengan beberapa kali anggukan yang seolah mengatakan ‘semuanya akan baik-baik saja’ yah..aku tau semuanya akan baik-baik saja. Kubuka pintu mobil perlahan, lalu mulai melangkah.

“Alika, kamu kenapa sih kok sejak kita jadian kamu jadi  pendiam gini  ?” Tanya Gilang begitu aku keluar dari mobil, membuatku sedikit kaget.
“Hem, masak sih ? biasa aja kok Lang”
“Kamu nggak lagi ada masalah kan ?” Gilang menhentikan langkahnya lalu menatapku curiga.
Aku menggeleng cepat sambil terkekeh garing “Enggak kok, tenang aja” Kutepuk-tepuk pundaknya untuk meyakinkannya bahwa tidak ada apa-apa. Tepatnya supaya dia tidak tau, bahwa sebenarnya ada apa-apa.

 Yah…2 bulan sudah, aku sama sekali belum yakin dengan pilihanku untuk menerima Gilang. Kenapa dulu aku harus menerimanya ? kenapa dulu aku harus takut menolaknya ? kurasa dulu Gilang pasti mengerti kalau aku menolaknya, bahwa aku menyayanginya hanya sebatas sahabat yang sudah menempel denganku sejak TK. Hanya saja aku terlalu takut kehilangan dia hanya karna aku menolaknya…

“Oke, aku percaya. Tapi kalau kamu lagi ada masalah, seperti biasa aku selalu siap kok dengerin curhatanmu” Ditepuknya kepalaku pelan “Aku pulang ya..”

            Kusapu pandanganku ke arah matahari yang sudah muncul dari balik awan. Hujan sudah mereda, menyisakan butiran-burtiran air yang menetes dari daun-daun rimbun pohon-pohon yang berderet sepanjang jalan setapak yang menbarkan bau tanah basah. Akupun melangkah ditemani kepingan-kepingan kejadian yang berputar tepat di bintik mataku..

“Alika…dengerin aku” Gilang memegang pundakku, memutarnya hingga aku benar-benar memandangnya. Kami sedang duduk di tepi pantai, entahlah pantai apa ini. Pulang sekolah tadi tiba-tiba Gilang mengajakku ke sini. 1 menit berlalu, bukannya berbicara dia malah menatapku lekat, matanya tepat memandang ke bintik mataku. Seperti mencari sesuatu di dalamnya. Mata itu tanpak lelah, seperti tidak ada cahaya di dalamnya. Jengah…akupun membuka suara “Ada apa sih Lang ? kamu aneh banget deh”

Diuraikannya tangannya dari pundakku, lalu ia mengalihkan pandangannya ke arah matahari yang semakin sore semaki merendah, dan seolah akan hilang di balik batas samudra yang entah ada di mana itu. Kuikuti arah pandangannya, sambil menunggu apa sebenarnya yang akan dia bicarakan “Aku tau ini berat Alika. Dari sahabat menjadi pacar” Dia terkekeh sebentar “Mungkin tidak biasa bagimu dengan status baru ini, begitu juga denganku. Tapi aku benar-benar minta pengertianmu Alika, karena ini hanya sebentar…”

Aku menoleh, menautkan alis tapi tak berniat menyela. Meski aku sangat ingin menyela ‘Apa maksudmu dengan sementara ?’ Tapi kurasa Gilang juga belum memerlukan selaanku, kutunggu dia melanjutkan penjelasannya...
Sekilas Gilang seperti menimbang-nimbang sebelum akhirnya ia menoleh ke arahku dan tersenyum “Tapi aku sangat senang, karena kau juga mencintaiku lebih dari seorang sahabat” Aku tercekat. Susah payah aku menelan ludah, sambil membalas senyumnya dengan senyumku yang pasti terlihat aneh..
*****

Tempat ini begitu luas dan sepi. Tak ada kehidupan..yang ada hanya gundukan-gunduka tanah merah yang berderet rapi dibawah naungan pohon-pohon akasia yang berdaun lebat. Kakiku terus melangkah sambil membaca nama-nama yang terpatri sebagai pemilik gundukan tersebut. Lalu berhenti begitu mataku menemukan nama itu. Gilang Syaputra, lidahku tiba-tiba kelu saat menyebut 2 potong nama itu.

“Aku minta putus Lang..” Ucapku lirih saat perjalanan pulang dari pantai. Gilang yang berada di depan stir menoleh, walaupun keadaan di dalam mobil remang karena langit sudah mulai gelap aku masih bisa menangkap raut keterkejutan Gilang.
“Maksud kamu apa Alika ?” Suaranya masih tetap tenang “Candaanmu nggak lucu” Gilang memaksakan diri untuk tertawa hingga yang terdengar hanya tawa sumbang.
“Aku mau putus Lang, putus! Aku sudah tidak tahan ngejalanin kebohongan ini. Aku minta maaf karena aku sudah membohongimu selama ini. Aku minta maaf sudah tidak mau jujur sama kamu. Aku minta maaf karena nggak bisa jadi apa yang kamu ingininkan, Aku nggak pernah mencintaimu lebih dari seorang sahabat.. Bagiku kamu seperti saudara, nggak lebih Lang” Nafasku memburu begitu selesai mengucapkan sederatan kalimat tadi dengan satu kali helaan nafas.
“Kamu…Kamu serius Alika ?”Meski masih tampak tenang, tapi suaranya sudah terdengar getir. “Terus..kenapa kamu nerima aku waktu itu ?”
Aku diam…
bukan karena aku tidak mau menjawab, tapi aku tidak bisa menjawab. Tubuhku yang gemetar hebat menahan tangis, dan tenggorokanku yang kering membuatku tak bisa lagi mengeluarkan kata apapun…

“KENAPA ALIKA ?”
Aku masih diam, hingga akhirnya Gilang memukul stir mobilnya hingga suara klakson berteriak nyaring memecah keheningan jalan. Aku semakin ketakutan, kini aku sudah menangis sesenggukan sambil mengucapkan kata “Maaf” berkali-kali.

                 Tapi Gilang seolah tidak perduli. Wajahnya mengeras, sorot matanya tajam namun tak fokus ke jalanan. Diinjjaknya pedal gas keras hingga mobil seperti meluncur cepat.
 “Gilang…kamu apa-apaan ?! GILANG !” Aku mulai panik melihat kekalapan Gilang menyetir, kucoba untuk meraih tangannya “Kita bisa mati GILANG ! BEREHENTI ! GILANG! AKU BILANG BERHENTI !”Aku berteriak-teriak panik untuk mengalahkan deru mobil yang semakin keras. Aku merasakan mobil seakan melayang karean terlalu cepat dipacu.

                  Aku sudah tidak bisa menahan emosiku. Sambil tetap menangis aku terus mencoba meraih tangannya tapi selalu bisa ditepisnya. Aku sudah hampir maraih tangannya ketika kilatan cahaya menyeruak masuk dan menyilaukan segalanya. Kejadian itu terlalu cepat, secepat terpelantingnya mobil kami ke bahu jalanan setelah sebelumnya menghantam teronton besar. Terus berguling, hingga akhirnya mobil berhenti sama sekali.

                 Aku membuka mataku, mencoba mencerna semuanya diantara batas kesadaranku. Tapi terlambat, semuanya sudah terjadi. Aku tidak bisa merasakan apapun, tubuhku mati rasa karena terjepit diantara badan mobil yang hampir remuk. Aku tak mampu bergerak, bahkan bernafas saja rasanya paruku tak kuasa melakukannya. Aku mengerahkan sisa kekuatanku untuk menoleh ke samping kananku. Gilang masih di sana tapi matanya sudah terpejam. Aku mengalihkan pandanganku karena sudah tak kuasa memandang tubuhnya yang sudah....ah ! bahkan aku tak kuasa menyebutnya. Sayup kudengar suara teriakan di luar sana, sebelum akhirnya semuanya menjadi gelap.

Kupandang gundukan yang membisu tersebut lalu bersimpuh dan menundukkan kepala pada jiwa yang sudah tenang di alamnya. Kuletakkan seikat bunga di atas pusarannya dan kugantungkan bebarapa bait do’a untuk menyejukkannya yang terengkuh dalam pelukan-Nya.
“Hai…” bahkan kata ‘Hai’ saja sudah mampu menyesakkanku. Rasa penyesalan memelukku erat, hingga rasanya tak bisa bernafas. Kubasahi tenggorokanku yang tiba-tiba mengering, pahit !
“Gimana kabarmu Lang ?” Kuremas gundukan tanah merah yang err dingin karena hujan yang baru saja berlalu. Kubiarkan air mata yang sudah mati-matian kutahan meluruh bersama semua penyesalan yang kupendam “Aku minta maaf baru bisa dateng sekarang….”
“Seandainya dulu, aku lebih bijaksana memutuskan. Mungkin tidak akan begini jadinya..tapi sudahlah, semuanya sudah terlambat”
Hening…
“Lang…kamu kesepian nggak ? sebenernya aku pengen banget nemenin kamu di sini lebih lama” Kuseka air mataku dengan punggung tangan “Tapi aku harus pergi, meski aku sangat ingin menemanimu di sini..”
Sekali lagi kuusap nisannya sambil kembali melafalkan do’a
“Lang…aku pulang ya. Nanti, aku pasti dateng lagi kok” Kuusap nisannya lembut sebelum kembali menundukkan kepala. Kali ini penghormatan terakhir sebelum akhirnya aku beranjak, meninggalkan tempat peristirahatannya dengan perasaan yang lega.

Mungkin jasadmu tidak lagi di sampingku…
Tapi cintamu akan selalu di hatiku..
Tenanglah di dalam pelukan-Nya…
Gilang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blogger yang baik adalah blogger yang setelah membaca memberikan kommentar ^.^