[Cerpen] Mimpi Di Seberang Sekotong

Picture random from google
Pantai Sekotong adalah salah satu pantai yang terletak di pulau Lombok. Pantai ini terletak di Kabupaten Lombok Barat, tepatnya di Kecamatan Sekotong.  Jika diukur dari Kota Mataram, Pantai Sekotong ini berjarak sekitar 60 kilometer.
            Pantai Sekotong adalah pantai dengan keindahan bawah laut yang menakjubkan dengan karang dan penghuni bawah lautnya yang masih sangat alami, Pantai ini dikelilingi oleh kawasan perbukitan yang melingkar tak jauh dari pinggir pantai. Pantai Sekotong ini masih asli, bebas polusi dan belum banyak dijamah manusia.
Di pantai ini kita akan disuguhi pemandangan Gunung Agung Bali yang tampak dari seberang lautan, Selain itu sejumlah pulau (gili) yang berada cukup dekat dengan Pantai Sekotong akan tampak pula. Setidaknya, ada belasan pulau di perairan Gugusan Gili Sekotong.
 Dengan semua keindahan yang dimilik pantai Sekotong ini, tidak heran bila sebagian orang yang pernah berkunjung ke pantai ini menyebutnya sebagai kepulauan karibian kecil di Lombok.
Di sinilah sebuah mimpi tertanam dan tumbuh menjulang bersama dengan ratusan pohon kelapa yang seolah mencakar langit. Kokoh bak batu karang yang tak akan gugur dihempas ombak. Mimpi tentang bagaimana meraih masa depan…
…………………………………………….
Mimpi adalah kunci
Untuk kita menaklukan dunia
Berlarilah tanpa lelah
Sampai engkau meraihnya……
( Nidji – Laskar Pelangi )

            Aku berlari kecil melewati jalan setapak yang masih basah bekas hujan semalam. Sesekali tanganku sibuk menyingkirkan semak belukar yang pagi ini banyak berserakan di sepanjang jalan menuruni perbukitan. Tak jarang aku terpeleset karna tanah licin dan juga jalannya yang agak curam,
Peluh yang mengalir tak menyurutkan sedikitpun semangat ku untuk pergi ke sekolah. Hari ini adalah hari yang penting bagiku, Sudah menjadi ruinitasku bangun pagi-pagi buta, sebelum matahari sempat menyembulkan sinarnya, dan berlari menuruni perbukitan sementara teman-teman sebayaku masih lelap dibalik selimut.
Rumahku terletak di atas bukit, masih satu kecamatan dengan Sekotong namun jauh lebih ke dalam lagi. Tepatnya Sekitar 2 kilometer dari kecamatan Sekotong. Desaku masih sangat terisolir dari teknologi dan perkembangan zaman, bahkan listrik pun belum sampai ke sini.  
Selain belum bisa dijamah oleh penerangan, desaku juga belum bisa dijamah  oleh pendidikan. Satu-satunya sekolah yang ada adalah Yayasan Baitul Hakim yang terletak di kecamatan Sekotong. Jadi, untuk bisa sampai di tempat itu tepat waktu, aku harus bangun sebelum ayam tetangga sempat memamerkan suaranya. Jaraknya yang jauh inilah yang membuat anak-anak yang satu kampung denganku enggan untuk bersekolah. Mereka lebih memilih untuk berkerja membantu orang tua mereka, yang mayoritas profesinya adalah  nelayan dan petani.
Matahari baru menyembul ketika aku menghentikan langkahku tepat di sebuah bangunan tua berbentuk persegi dengan dinding kayu yang terlihat rapuh, seolah-olah bangunan itu akan runtuh hanya dengan sentuhan angin laut. Jika di depan tidak ada plang yang bertuliskan ‘Yayasan  Baitul Hikmah’, mungkin tak ada yang akan mengira bangunan yang lebih mirip lumbung padi ini adalah sebuah sekolah.
Senyumku mengembang begitu melihat Bu Irma muncul dari balik pintu kelasku, wajah ayunya terlihat gelisah sembari matanya seperti mencari-cari sesuatu dan mengelus dada begitu melihat aku yang masih berdiri di depan gerbang. Beliau melambaikan tangannya, menyuruhku untuk bergegas.
“Asslamualaikum bu” Aku mencium tangannya khidmat, seketika aroma harum tubuhnya menusuk hidungku. Aku selalu suka mencium aroma tubuh Bu Irma, aroma yang selalu membuat aku tenang dan nyaman.
“Waalaikumsalam, ayo cepat nak. Ujian sudah akan dimulai” Dituntunnya aku menuju ke dalam kelas. Tiba-tiba saja aku didera rasa takut, entah takut pada apa. Padahal ini hari terakhir ujian, harusnya aku senang. Tapi sudahlah, apa yang harus aku takutkan. Semalaman suntuk aku sudah belajar. Aku sudah siap. Bismillah..
*****
Jangan bersedih dan putus asa…
Slalu ada jalan bila kau trus berdo’a..
Tabur harapmu sebanyak bintang..
Sebanyak bintang-bintang di angkasa..
( Idola Cilik 1 - Tunjuk Satu Bintang )

“Kalian akan melanjutkan ke mana ? kalau aku mungkin mau bantu Papuq ( panggilan nenek dalam bahsa sasak ) di sawah saja” Ucap Siti lemas. Aku tau, dia mengucapkan kalimat barusan dengan sangat berat hati. Mimpinya menjadi seorang Dokter kandas sudah, berakhir bersamaan dengan berakhirnya Ujian Nasional hari ini.
Kami sedang duduk-duduk di tepi pantai Sekotong sambil menunggu adzan dzuhur, kebiasaan kami sebelum pulang ke rumah masing-masing. Nggak terasa sudah Sembilan tahun berlalu, sejak aku ditarik paksa oleh Amaq ( panggilan ayah dalam bahasa sasak ) dan digendong berkilo-kilo jauhnya ke Yayasan ini. Kata Amaq aku harus sekolah, supaya nggak jadi petani seperti beliau dan sanak keluarga yang lainnya. Sejak saat itu, setiap pagi Amaq selalu menggendongku menuruni bukit untuk sekolah dan siangnya naik bukit lagi untuk pulang. Terus seperti itu sampai aku kelas 3 SD, setelah itu tidak lagi. Bukan karena Amaq tidak mau menggantarku lagi, tapi karena Amaq sudah tidak bisa lagi. Beliau meninggal saat akan menjemputku, ia terjatuh ke jurang. Saat itu musim hujan, pasti lereng sangat licin sekali.
“Yah…kurasa aku juga” Bergantian yang lainnya menjawab dengan jawaban dan ekspresi yang sama. Sedih.
“Kamu sendiri lanjut nggak Mut ?” Atun menyikut tanganku yang dari tadi hanya diam. Hhh…aku sendiri sangsi bisa melanjutkan sekolah, Tapi aku juga nggak rela bilang ‘Aku juga kayaknya mau bantu Inaq ( panggilan untuk Ibu dalam bahasa sasak ) ngurus kebun aja’ aku nggak rela ngelepas mimpiku jadi penulis. Seandainya saja Yayasan ini punya SMA, kami pasti bisa sekolah gratis lagi. Seandainya juga kami-kami ini orang berada, kami pasti akan melanjutkan sekolah ke Mataram tanpa harus pusing mikirin biaya. Seandainya…ah terlalu banyak seandainya jika harus kusebutkan satu persatu.
“Entahlah..” akhirnya cuman itu yang bisa aku jawab.
*****
Aku baru sampai di perbatasan desa ketika kulihat Bi Aminah tetanggaku sedang berlari menghampiriku sambil berteriak-teriak. Tidak, dia tidak berteriak tapi dia menangis. Apa yang terjadi padanya..?
“Muttiiii…..Inaqmu…meninggal…Dia-,” Aku tidak dapat mendengar kalimat selanjutnya karena tiba-tiba saja tubuhku sudah melesat dibawa angin. Aku berlari, tapi aku tidak merasakan kakiku berpijak di tanah. Aku merasa melayang, aku rasa hanya jasadku saja yang bergerak sedangkan rohku terbang entah kemana. Mataku perih oleh angin dan air mata. Lelucon apa lagi ini ? Kenapa takdir begitu tega padaku ? Masih belum cukupkah semua yang sudah kualami selama ini ? Hingga satu-satunya hartakupun sekarang diambilnya ?. Kakiku membawaku ke sebuah rumah kayu yang tampak ramai sekali. Awalnya orang-orang itu bergerak sangat cepat, cepat, lalu melambat, lambat, lambat dan gelap.
*****
Matahari sudah hilang ditelan malam, meninggalkan bulan yang bersinar sendu. Aku duduk termenung di teras rumah, mencerna apa yang baru saja berlalu. Tapi aku sama sekali tak dapat memikirkannya, otakku kosong. Tenagaku menguap tak tersisa, bahkan hanya sekedar untuk berpikir.
Inaq sudah dimakamkan ba’da Ashar tadi. Sekarang apa yang tersisa ? Amaq sudah pergi, Inaq baru saja pergi, bahkan mimpi besarkupun seolah ikut pergi bersama Inaq. Hanya tinggal aku sebatang kara di dalam gubuk reot di pedalaman Sekotong.
“Assalamualaikum…” Suara halus Pak Agus, dokter muda yang mengabdi di desaku menarik lamunanku, entahlah bahkan aku tidak yakin dari tadi aku sedang melamun. Aku yakin beliau maklum atas ketidak mampuanku menjawab salamnya, hingga dia langsung mengambil tempat di sebelahku.
“Seminggu yang lalu, almarhumah datang ke rumah. Beliau menitipkan sejumlah uang untukmu, katanya hasil menjual kebun. Dan..beliau juga minta supaya bapak mengurus sekolah dan tempat tinggalmu di Mataram”
Deg ! Apa lagi ini ? Sejak kapan Inaq menjual kebun ?
“Beliau sangat ingin melihatmu sekolah Mut, hanya itu amanh almarhumah sebelum dia meninggal” Aku masih mematung sambil mendengarkan semua rentetan kalimat dari mulut Pak Agus yang aku yakin hanya numpang lewat ditelingaku. Sampai akhirnya..
“Ya Sudah…kalau kamu sudah baikan, temui saja bapak untuk membicarakan kelanjutannya” Lalu beliau beranjak dan berlalu meninggalkanku yang entah sebenarnya masih hidup atau tidak.
*****
            Aku sudah benar-benar memikirkannya. Apa yang bisa aku beri kepada Inaq selain mewujudkan mimpinya untuk melihatku sekolah ? meski pada kenyataannya beliau sudah tidak bisa lagi melihatku. Aku tidak tau aku akan kuat atau tidak menjalani semuanya sendirian, namun jika aku tetap mengingat semua perjuangan Amaq dan Inaq, aku yakin aku akan kuat. Pagi hari setelah kedatangan Pak Agus malam itu, aku langsung menemuinya. Pak Agus sudah berjanji akan mengurus semua data-dataku yang belum selesai di Yayasan Baitul Hikmah. Maka, minggu itu menjadi minggu terakhir aku berada di Sekotong.
…………………………………………………
Apapun yang ada di dirimu..
Syukuri pemberian darinya..
Dia pasti tau  yang terbaik..
Untukku…Untukmu…
( Debo IC – Yang Terbaik )

            Pantai Sekotong masih tetap sama, tetap menakjubkan dengan segala keindahannya. Tapi di sana-sini sudah banyak tumbuh gedung-gedung perhotelan, resort, restaurant dan berbagai tempat hiburan. Kini Pantai Sekotong sudah menjadi tempat wisata yang diperhitungkan di pulau Lombok selain Senggigi. Setiap hari selalu ramai dikunjungi oleh para tourist local maupun mancanegara.
            Ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Sekotong kembali setelah hari itu. Dengan berbekal uang yang ditinggalkan Inaq aku tinggal luntang lantung di Mataram. Bersekolah di salah satu SMA Negeri dengan bantuan beasiswa. Aku juga bekerja paruh waktu sebagai penjaga toko sepatu di Cakra Negara. Semuanya lewat begitu saja, aku bahkan tak menyangka aku bisa bertahan sejauh itu. Hingga lulus SMA, aku mendapat beasiswa kuliah di Swiss German University ( SGU ) di fakultas Life Science ( LS ) jurusan Pharmaceutical Engineering. Yah memang melenceng dari cita-citaku menjadi seorang Penulis. Namun begitu, aku tetap suka menulis. Dan satu bulan yang lalu, aku baru saja me-release Novel pertamaku dengan judul ‘Mimpi Di Seberang Sekotong’
            Aku malu pada Takdir, jika aku mengingat bagaimana dulu aku memakinya karena membuat hidupku menderita. Padahal semuanya ia lakukan hanya untuk menempaku menjadi kuat, membentukku menjadi tegar. Tapi, kini tak perduli bagaimana dulu bencinya aku padanya. Ia membentuk mimpiku, bahkan lebih indah dari yang aku impikan.
“Ini dia tamunya Bu…” Suara itu menarik kepingan kenangan yang kembali berputar di otakku. Suara itu milik wanita muda berkaca mata yang kini sudah berdiri di depanku. Di belakangnya seorang wanita yang sudah tua berjalan mendekat. Seketika aroma melati menusuk hidungku…aroma yang selalu membuat aku tenang dan nyaman.
“Bu Irma…”

12 Juni 2011
Azizah Ananda


Ini pantai sekotong

6 komentar:

  1. W.O.W.

    bagus zhi!!
    boleh nih, dibajak AOmagz! huahaha
    *nafsu

    Btw kamu dapet award nih.
    selamat yaa :))

    http://aul-home.blogspot.com/2011/06/auls-open-home.html

    BalasHapus
  2. bagus kak :)
    ditunggu cerpen berikutnya :D hahaha

    BalasHapus
  3. @AuL Howler makasih bang aul...boleh kok silahkan saja dibajak hehe.^^

    BalasHapus
  4. waaaahh .. ceritanya bagus bangeeeett :)
    ini fiksi apa non fiksi?

    BalasHapus

Blogger yang baik adalah blogger yang setelah membaca memberikan kommentar ^.^